Sebuah kisah yang indah, melarutkan hati di dalam keharuan hanya dengan membacanya.
Kisah yang menggambarkan ketulusan seorang istri yang cukup dibayar hanya dengan "bopongan" dari suaminya sebagai imbalan dari belasan tahun kehidupan rumah tangga yang sudah diperjuangkan oleh mereka berdua sebelum akhirnya rumah tangga mereka dipisahkan oleh pihak ketiga...
Worth to be read...
Kisah yang menggambarkan ketulusan seorang istri yang cukup dibayar hanya dengan "bopongan" dari suaminya sebagai imbalan dari belasan tahun kehidupan rumah tangga yang sudah diperjuangkan oleh mereka berdua sebelum akhirnya rumah tangga mereka dipisahkan oleh pihak ketiga...
Worth to be read...
Pada hari pernikahanku, aku membopong istriku. Mobil pengantin berhenti didepan flat kami yang cuma berkamar satu.
Sahabat-sahabatku menyuruhku untuk membopongnya begitu keluar dari mobil.
Jadi kubopong ia memasuki rumah kami.
Ia kelihatan malu-malu. Aku adalah seorang pengantin pria yang sangat
bahagia.
Ini adalah kejadian 10 tahun yang lalu.
Hari-hari selanjutnya berlalu demikian simpel seperti secangkir air bening.
Kami mempunyai seorang anak, saya terjun ke dunia usaha dan berusaha untuk
menghasilkan banyak uang. Begitu kemakmuran meningkat, jalinan kasih diantara
kami pun semakin surut. Ia adalah pegawai sipil. Setiap pagi kami berangkat
kerja bersama-sama dan sampai dirumah juga pada waktu yang bersamaan.
. Perkawinan kami kelihatan bahagia. Tapi ketenangan hidup berubah
dipengaruhi oleh perubahan yang tidak kusangka-sangka.
Nina hadir dalam kehidupanku. Waktu itu adalah hari yang cerah. Aku berdiri
di balkon dengan Nina yang sedang merangkulku. Hatiku sekali lagi terbenam
dalam aliran cintanya. Ini adalah apartment yang kubelikan untuknya.
Nina berkata , “Kamu adalah jenis pria terbaik yang menarik para gadis”
Kata-katanya tiba-tiba mengingatkanku pada istriku. Ketika kami baru
menikah, istriku pernah berkata, “Pria sepertimu,begitu sukses, akan
menjadi sangat menarik bagi para gadis”.
Berpikir tentang ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu kalo aku telah
menghianati istriku. Tapi aku tidak sanggup menghentikannya. Aku melepaskan
tangan Nina dan berkata, “Kamu harus pergi membeli beberapa perabot,
O.K.?.Aku ada sedikit urusan dikantor”.
Kelihatan ia jadi tidak senang karena aku telah berjanji menemaninya. Pada
saat tersebut, ide perceraian menjadi semakin jelas dipikiranku walaupun
kelihatan tidak mungkin. Bagaimanapun, aku merasa sangat sulit untuk
membicarakan hal ini pada istriku. Walau bagaimanapun ku jelaskan, ia pasti
akan sangat terluka. Sejujurnya, ia adalah seorang istri yang baik. Setiap
malam ia sibuk menyiapkan makan malam. Aku duduk santai didepan TV.
Makan malam segera tersedia. Lalu kami akan menonton TV sama-sama. Atau aku
akan menghidupkan komputer, membayangkan tubuh Nina. Ini adalah hiburan bagiku.
Suatu hari aku berbicara dalam guyon, “Seandainya kita bercerai, apa
yang akan kau lakukan? “
Ia menatap padaku selama beberapa detik tanpa bersuara. Kenyataannya ia
percaya bahwa perceraian adalah sesuatu yang sangat jauh darinya. Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana ia akan menghadapi kenyataan jika tahu bahwa aku
serius.
Ketika istriku mengunjungi kantorku, Nina baru saja keluar dari ruanganku.
Hampir seluruh staff menatap istriku dengan mata penuh simpati dan berusaha
untuk menyembunyikan segala sesuatu selama berbicara dengan ia. Ia kelihatan
sedikit kecurigaan.
Ia berusaha tersenyum pada bawahan-bawahanku. Tapi aku membaca ada kelukaan
di matanya.
Sekali lagi, Nina berkata padaku, ” He , ceraikan ia, O.K.? Lalu kita
akan hidup bersama”.
Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak boleh ragu-ragu lagi.
Ketika malam itu istriku menyiapkan makan malam, ku pegang tangannya,
“Ada sesuatu yang harus kukatakan”
Ia duduk diam dan makan tanpa bersuara. Sekali lagi aku melihat ada luka
dimatanya. Tiba-tiba aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu kalo aku
terus berpikir.
“Aku ingin bercerai”, ku ungkapkan topik ini dengan serius tapi
tenang.
Ia seperti tidak terpengaruh oleh kata- kataku, tapi ia bertanya secara
lembut, “kenapa?, Aku serius”.
Aku menghindari pertanyaannya. Jawaban ini membuat ia sangat marah. Ia
melemparkan sumpit dan berteriak kepadaku, “Kamu bukan laki-laki!”.
Pada malam itu, kami sekali saling membisu. Ia sedang menangis. Aku tahu kalau
ia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan perkawinan kami. Tapi aku tidak
bisa memberikan jawaban yang memuaskan sebab hatiku telah dibawa pergi oleh
Nina.
Dengan perasaan yang amat bersalah, Aku menuliskan surat perceraian dimana
istriku memperoleh rumah, mobil dan 30% saham dari perusahaanku. Ia
memandangnya sekilas dan mengoyaknya jadi beberapa bagian. Aku merasakan sakit
dalam hati. Wanita yang telah 10 tahun hidup bersamaku sekarang menjadi seorang
yang asing dalam hidupku. Tapi aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah
kuucapkan.
Akhirnya ia menangis dengan keras didepanku, dimana hal tersebut tidak
pernah kulihat sebelumnya.
Bagiku, tangisannya merupakan suatu pembebasan untukku. Ide perceraian telah
menghantuiku dalam beberapa minggu ini dan sekarang sungguh-sungguh telah
terjadi.
Pada larut malam, aku kembali ke rumah setelah menemui klienku. Aku melihat
ia sedang menulis sesuatu. Karena capek aku segera ketiduran. Ketika aku
terbangun tengah malam, aku melihat ia masih menulis. Aku tertidur kembali.
Ia menuliskan syarat-syarat dari perceraiannya. Ia tidak menginginkan apapun
dariku, tapi aku harus memberikan waktu sebulan sebelum menceraikannya, dan
dalam waktu sebulan itu kami harus hidup bersama seperti biasanya.
Alasannya sangat sederhana: Anak kami akan segera menyelesaikan
pendidikannya dan liburannya adalah sebulan lagi dan ia tidak ingin anak kami
melihat kehancuran rumah tangga kami.
Ia menyerahkan persyaratan tersebut dan bertanya, ” Apakah kamu masih
ingat bagaimana aku memasuki rumah kita ketika pada hari Pernikahan kita?”
Pertanyaan ini tiba-tiba mengembalikan beberapa kenangan indah kepadaku. Aku
mengangguk dan mengiyakan. “Kamu membopongku dilenganmu”, katanya,
“Jadi aku punya sebuah permintaan, yaitu kamu akan tetap membopongku
pada waktu perceraian kita. Dari sekarang sampai akhir bulan ini, setiap pagi
kamu harus membopongku keluar dari kamar tidur ke pintu.”
Aku menerima dengan senyum. Aku tahu ia merindukan beberapa kenangan indah
yang telah berlalu dan berharap perkawinannya diakhiri dengan suasana romantis.
Aku memberitahukan Nina soal syarat-syarat perceraian dari istriku. Ia
tertawa keras dan berpikir itu tidak ada gunanya. “Bagaimanapun trik yang
ia lakukan, ia harus menghadapi hasil dari perceraian ini”, ia mencemooh.
Kata-katanya membuatku merasa tidak enak.
Istriku dan aku tidak mengadakan kontak badan lagi sejak kukatakan
perceraian itu. Kami saling menganggap orang asing. Jadi ketika aku
membopongnya dihari pertama, kami kelihatan salah tingkah. Anak kami menepuk
punggung kami, “Wah, papa membopong mama, mesra sekali”
Kata-katanya membuatku merasa sakit..
Dari kamar tidur ke ruang duduk, lalu ke pintu, aku berjalan 10 meter dengan
ia dalam lenganku. Ia memejamkan mata dan berkata dengan lembut, “Mari
kitamulai hari ini,jangan memberitahukan pada anak kita”. Aku mengangguk,
merasa sedikit bimbang.Aku melepaskan ia di pintu. Ia pergi menunggu bus, dan
aku pergi kekantor.
Pada hari kedua, bagi kami terasa lebih mudah. Ia merebah di dadaku, kami
begitu dekat sampai-sampai aku bisa mencium wangi dibajunya. Aku menyadari
bahwa aku telah sangat lama tidak melihat dengan mesra wanita ini. Aku melihat
bahwa ia tidak muda lagi, beberapa kerut tampak di wajahnya.
Pada hari ketiga, ia berbisik padaku, “Kebun diluar sedang dibongkar,
hati-hati kalau kamu lewat sana”.
Hari keempat, ketika aku membangunkannya, aku merasa kalau kami masih mesra
seperti sepasang suami istri dan aku masih membopong kekasihku dilenganku.
Bayangan Nina menjadi samar.
Pada hari kelima dan enam, ia masih mengingatkan aku beberapa hal, seperti,
dimana ia telah menyimpan baju-bajuku yang telah ia setrika, aku harus
hati-hati saat memasak, dll. Aku mengangguk. Perasaan kedekatan terasa semakin
erat.
Aku tidak memberitahu Nina tentang ini.
Aku merasa begitu ringan membopongnya. Berharap setiap hari pergi ke kantor
bisa membuatku semakin kuat. Aku berkata padanya, “Kelihatann ya tidaklah
sulit membopongmu sekarang”
Ia sedang mencoba pakaiannya, aku sedang menunggu untuk membopongnya keluar.
Ia berusaha mencoba beberapa tapi tidak bisa menemukan yang cocok. Lalu ia
melihat, “Semua pakaianku kebesaran”.
Aku tersenyum. Tapi tiba-tiba aku menyadarinya sebab ia semakin kurus itu
sebabnya aku bisa membopongnya dengan ringan bukan disebabkan aku semakin kuat.
Aku tahu ia mengubur semua kesedihannya dalam hati. Sekali lagi, aku merasakan
perasaan sakit. Tanpa sadar ku sentuh kepalanya.
Anak kami masuk pada saat tersebut. “Pa,sudah waktunya membopong mama
keluar”
Baginya, melihat papanya sedang membopong mamanya keluar menjadi bagian yang
penting. Ia memberikan isyarat agar anak kami mendekatinya dan merangkulnya
dengan erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran
pada detik terakhir. Aku menyanggah ia dilenganku, berjalan dari kamar tidur,
melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan alami.
Aku menyanggah badannya dengan kuat seperti kami kembali ke hari pernikahan
kami. Tapi ia kelihatan agak pucat dan kurus, membuatku sedih.
Pada hari terakhir, ketika aku membopongnya dilenganku, aku melangkah dengan
berat. Anak kami telah kembali ke sekolah. Ia berkata, “Sesungguhnya aku
berharap kamu akan membopongku sampai kita tua”.
Aku memeluknya dengan kuat dan berkata, “Antara kita saling tidak
menyadari bahwa kehidupan kita begitu mesra”.
Aku melompat turun dari mobil tanpa sempat menguncinya. Aku takut
keterlambatan akan membuat pikiranku berubah.
Aku menaiki tangga.
Nina membuka pintu. Aku berkata padanya, ” Maaf Nin, Aku tidak
ingin bercerai. Aku serius”.
Ia melihat kepadaku, kaget. Ia menyentuh dahiku. “Kamu tidak demam”.
Kutepiskan tanganya dari dahiku “Maaf, Nina, Aku Cuma bisa bilang
maaf padamu,Aku tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku membosankan
disebabkan ia dan aku tidak bisa merasakan nilai-nilai dari kehidupan,bukan
disebabkan kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang aku mengerti sejak aku
membopongnya masuk ke rumahku, ia telah melahirkan anakku. Aku akan menjaganya
sampai tua. Jadi aku minta maaf padamu”
Nina tiba-tiba seperti tersadar. Ia memberikan tamparan keras kepadaku dan
menutup pintu dengan kencang dan tangisannya meledak. Aku menuruni tangga dan
pergi ke kantor. Dalam perjalanan aku melewati sebuah toko bunga, ku pesan
sebuah buket bunga kesayangan istriku.
Penjual bertanya apa yang mesti ia tulis dalam kartu ucapan?
Aku tersenyum, dan menulis :
“Aku akan membopongmu setiap pagi sampai kita tua…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar