Senin, 02 Desember 2013

Si pengemis yang menyindir

asyarakat Jakarta hari-hari ini
dihebohkan oleh berita tertangkapnya
seorang pengemis dengan uang tunai Rp
25,448,000. Menurut Kasi Rehabilitasi
Sudin Sosial Jakarta Selatan, uang ini
adalah hasil mengemis selama 15 hari.
Artinya si pengemis ini memiliki penghasilan
hampir Rp 1.7 juta per hari atau lebih dari Rp
50 juta sebulan – bebas pajak pula. Ini
kurang lebih setara dengan penghasilan
manager atau bahkan general manager
perusahaan-perusahaan menengah atas di
Jakarta !
Bila orang bekerja hanya untuk mengejar
uang, maka si pengemis inipun dengan mudah
mengalahkan rata-rata pekerja dalam
hasilnya – bahkan menyamai atau melebihi
gaji para manajer, penghasilan dia malah
lebih dari 23 kali UMR – DKI tahun 2013 ini !
Lantas apakah kita lebih baik rame-rame
mengemis saja kalau begitu ?, tentu tidak.
Mengemis atau meminta-minta adalah sangat
dilarang dalam Islam. Terhinakan di dunia
dan juga di akhirat : "Terus-menerus
seseorang itu suka meminta-minta kepada
orang lain hingga pada hari kiamat dia
datang dalam keadaan di wajahnya tidak ada
sepotong dagingpun." (HR. Al-Bukhari no.
1474 dan Muslim no. 1725).
Yang diperintahkan kepada kita adalah
sebaliknya, yaitu kita diperintahkan untuk
bersedekah dan untuk bisa bersedekah ini
kita harus bekerja.
"Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda :
"Wajib bagi setiap muslim bersedekah".
Mereka (para sahabat) bertanya : "Wahai
Nabi Allah, bagaimana kalau ada yang tidak
sanggup ?". beliau menjawab : "Dia bekerja
dengan tangannya sehingga bermanfaat bagi
dirinya lalu dia bersedekah". Mereka
bertanya lagi : "Bagaimana kalau tidak
sanggup ?". Beliau menjawab :"Dia membantu
orang yang sangat memerlukan bantuan".
Mereka bertanya lagi : "Bagaimana kalau
tidak sanggup lagi ?". Beliau menjawab :
"Hendaklah dia berbuat kebaikan (ma'ruf)
dan menahan diri dari keburukan karena
yang demikian itu berarti sedekah baginya"".
(HR. Bukhari no. 1353 dan Muslim no. 1676).
Mulianya bekerja bahkan disamakan dengan
berjuang di jalan Allah bila diniatkan dengan
benar. Suatu ketika Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam sedang duduk-duduk
bersama dengan sejumlah sahabat. Di hari
yang masih pagi itu, ada seorang pemuda
berbadan kekar gagah perkasa melintas di
hadapan mereka. Melihat pemandangan
demikian para sahabat spontan berkomentar:
"Sayang sekali pemuda itu, alangkah
hebatnya jika pemuda berbadan tegap begitu
dia manfaatkan untuk berjuang di jalan
Allah". Mendengar gumam para sahabat
seperti itu, Rasulullah langsung menegur dan
menasehati mereka dengan sabdanya:
"Jangan kalian bicara begitu! Dia itu, jika
bekerja untuk mencukupi diri sendiri agar
tidak meminta-minta kepada orang lain,
berarti ia berjuang di jalan Allah. Jika dia
bekerja untuk menghidupi kedua orang
tuanya yang telah tua, atau mencukupi
kerabat yang lemah, dia itu sama dengan
berjuang di jalan Allah. Tetapi kalau dia itu
bekerja untuk berbangga-bangga dan untuk
menumpuk harta, dia itu ada di jalan
setan" (HR. At-Thabrani).
Jadi bekerja untuk diri sendiri – agar tidak
menjadi beban orang lain, untuk keluarga dan
kerabat-pun bisa bernilai berjuang di Jalan
Allah – yaitu bila tidak dimaksudkan untuk
berbangga-bangga dan menumpuk harta.
Lebih dari itu , bekerja juga adalah ibadah
kerena sesungguhnya kita diciptakan oleh
Allah hanya untuk menyembah kepadaNya –
jadi seluruh aktifitas hidup kita harus dalam
konteks ibadah ini. "Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku." ( QS 51:56).
Karena kedudukannya sebagai ibadah ini,
maka ultimate objective dari pekerjaan kita
haruslah mencari ridloNya semata. Jadi
pertanyaan bagi setiap pekerja terhadap
pekerjaannya seharusnya bukan " berapa
banyak saya akan mendapatkan upah untuk
pekerjaan ini ?" ; tetapi : " Allah ridlo nggak
ya dengan pekerjaan saya ini ?".
Pekerja yang hanya mengejar yang pertama
(upah), kemudian untuk memperoleh target
penghasilannya dia menghalalkan cara dengan
korupsi, memakan riba, memeras, mendhalimi
orang lain, mengambil yang bukan haknya –
maka mereka-mereka ini bisa lebih hina dari
pengemis tersebut di atas.
Pengemis meskipun sangat dilarang, tetapi
pengemis umumnya menerima uang dari orang
yang memberinya secara sukarela – tanpa
paksaan. Lha bagi para koruptor, pemeras,
pemakan riba dan yang mengambil hak orang
lain – mereka pada umumnya memperoleh
hartanya tanpa keridlaan orang yang diambil
hartanya tersebut - tidak ada rakyat yang
rela bila hasil jerih payahnya dikorupsi oleh
segelintir elit untuk kepentingan mereka
sendiri.
Walhasil, agar kita tidak terjerumus pada
pekerjaan yang bahkan lebih rendah dari
pekerjaan pengemis tersebut diatas – kita
memang perlu sering-sering berintrospeksi
dengan melontarkan pertanyaan kepada diri
kita sendiri, pertanyaan yang terkait dengan
apa yang kita lakukan dalam kehidupan kita
ini - yaitu pertanyaan : " Allah ridlo nggak ya
dengan apa yang saya lakukan ini, dalam
pekerjaan saya ini ? dst".
Bila Allah ridlo, maka tidak ada lagi yang
kita perlukan selain ini. Yang sedikit menjadi
cukup, yang banyak menjadi tambahan
berkah. Sebaliknya bila Allah tidak ridlo,
yang sedikit semakin tidak cukup – yang
banyak menjadi semakin serakah.
Maka berita tentang pengemis yang kaya
tersebut di atas, menjadi sindiran untuk kita
semua – agar setidaknya kita semua
bertanya kepada diri kita sendiri ; " Allah
ridlo nggak ya dengan pekerjaan saya ini ?".
InsyaAllah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar