Sekarang gw lagi di kostan etek Eni. Kayaknyaaaa
sih, kalo ga main fesbuk gw rasa etek juga bakal lupa tuh my day ini. Hmm diam2
aja deh. Eh gatau nya dia inget. Setelah ritual di-cie-in dan menyengir2, kena ceramah deh gw soal keterampilan gw yang
sangat hebat dalam tidak mengontrol emosi. Yayayaya. *pasang muka tertunduk menyesal
plus manggut2 mode*. Malam ini gw abis dibawa makan ke restoran seafood dan ditutup dengan es krim. Sekarang etek lagi tidur, dan here I am didepan lappie.
Tadi pagi gw nganter etek check up ke Rumah
Sakit. Perginya naik bajaj kancil. Ya Alhamdulillah, ngeliat pemandangan di RS
tadi gw makin bersyukur atas nikmat sehat yang gw punya ini. Bahkan gw start
crying tadi, lalu seperti biasa pulak-pulak nguap deyh. Cemen banget gw,
dimana2 gampang nangis. Huhuhu
Gw jadi inget udah beberapa tahun ini tiap ultah gw
selalu pasti baca cerpen tentang kado yang emang udah at first read langsung gw save di komputer. Gw sih udah hapal ceritanya tapi ya gitu, tiap ultah ini akan sangat tepat momentnya. Emang sengaja, cari2 cara aja biar nangis.
Dan gw sukses naaaaaaaaangis tersedu2 berkelanjutan, karna abis baca gw akan membandingkan
dengan diri gw. Dicerpen itu feel yang terbentuk benar2 ngena dan sama seperti
yang pernah gw rasain. Tapi endingnya gw juga seperti wanita di cerpen itu. (karna Kado terindah
itu yang Insya Allah juga sudah gw dapatkan. Amin) Gw suka banget sama cerpen ini. Gw
share disini deh ya biar pada bisa baca juga yaah..biar ga cuma gw aja yang kebuka
pikiran dan hatinya dalam memaknai ulang tahun. Cekidot
♡...Kuntum Cintanya…♡
“De’… de’… Selamat Ulang Tahun…” bisik
seraut wajah tampan tepat di hadapanku. “Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan
mata dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain
yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.
Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun.
Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing
special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest
mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke
kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku,
dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam.
Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang
yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma memandangku.
Alat shalat kubereskan dan aku kembali
berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan
mengucapkan. “Happy Birthday to Me… Happy Birthday to Me….” Bisik hatiku perih.
Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku
sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku
berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan
kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku
hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resor di malam dan hari ulang
tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan
sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti
bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.
“De… Ade kenapa?” tanya suamiku dengan
nada bingung dan khawatir.
Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu
membuka mata. Matanya tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah
bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya.
Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.
“Selamat ulang tahun ya De’…” bisiknya
lirih. “Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini… tapi
kamu capek banget ya?” Ucapnya takut-takut.
Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan
bungkusan manis merah jambu itu. Dari mana dia belajar membukus kado seperti
ini? Batinku sedikit terhibur. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap
lekat matanya. Ada air yang menggenang.
“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini.
Nnnng… Nggak bagus ya de?” ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.
Kubuka secarik kartu kecil putih manis
dengan bunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu
bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah
yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak
bersyukurnya aku.
“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak
bisa ngasih apa-apa…. Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya
de’…” desahnya.
Aku tahu dia harus rela mengirit jatah
makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya.
Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di
hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi… mengapa sepicik itu
pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih
aku pertanyakan.
“A’ lihat aku…” pintaku padanya. Ia
menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan.
Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya
untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu.
“Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,” bisikku di antara isakan. “Kamu
ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih
aku kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede’,” senyumku sambil
mengelus perutku. “Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu
ngasih aku mama….” bisikku dalam cekat.
Terbayang wajah mama mertuaku yang
perhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. “Kamu yang
selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu
telepon setiap siang,” isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin
kencang di pelukanku.
Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan
kami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah
aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan
sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke,
fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia.
Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan
nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan
untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru
menikah…Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
♡♡♡
Gimana??? Udah nangis?? Udah dapet hikmah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar